Seiring dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden, berbagai partai politik di Indonesia kini tengah merumuskan syarat-syarat yang diperlukan untuk revisi Undang-Undang Pemilu. Langkah ini diharapkan dapat mengatur jumlah calon presiden dan wakil presiden agar tidak membeludak serta menjaga efisiensi anggaran pemilu di masa mendatang.
Menyikapi Putusan MK
Putusan MK yang membatalkan presidential threshold (PT) diharapkan memberikan dampak positif bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Banyak pihak, termasuk publik dan partai politik, menyatakan apresiasi terhadap keputusan ini. Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, pembatalan PT bisa menjadi langkah maju bagi demokrasi yang kian terancam.
“Keputusan ini seperti oase dalam lahan demokrasi yang semakin tandus di Indonesia,” ujarnya. Ia menekankan bahwa putusan tersebut memberi ruang bagi semua partai untuk mengajukan kandidat yang sesuai dengan keinginan publik, tanpa terhambat oleh batasan yang ditetapkan sebelumnya.
Risiko Peningkatan Anggaran
Namun, di balik kebebasan ini, terdapat potensi kondisi yang kurang mendukung, yaitu kemungkinan pembengkakan anggaran pemilu. Dengan dihapuskannya ambang batas, pemilu di masa mendatang mungkin akan berlangsung dalam dua putaran, terutama jika perolehan suara tidak mencapai 50 persen plus 1. Hal ini tentunya akan menambah beban anggaran negara untuk penyelenggaraan pemilu.
Konsolidasi Partai dan Rekayasa Konstitusional
Ketua DPP PDIP menegaskan bahwa partainya akan mematuhi putusan MK dan menganggapnya sebagai panduan untuk pembahasan revisi UU Pemilu antara pemerintah dan DPR. Ada kesepakatan bahwa revisi ini juga harus mempertimbangkan bagaimana cara partai dapat berkolaborasi untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa mengorbankan hak masing-masing.
Oleh karena itu, rekayasa konstitusional dipandang sebagai kebutuhan mendesak. Misalnya, dapat diatur syarat calon presiden dan wakil presiden dari aspek kepemimpinan serta pengalaman publik. Penilaian ini diharapkan melibatkan elemen masyarakat dan lembaga negara dalam menyaring calon yang lebih berintegritas.
Kemandirian Partai Kecil
Bagi partai-partai nonparlemen, putusan MK juga disambut positif. Presiden Partai Buruh menilai bahwa putusan ini membuka kesempatan bagi partainya untuk mencalonkan kandidat tanpa harus bergantung pada partai besar. Dengan demikian, peluang seorang buruh untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden di Pemilu 2029 semakin terbuka lebar.
“Kami akan mengumumkan calon yang akan diusung pada kongres ke-2 kami pada 2026. Kini, buruh memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin,” ujarnya, berharap hal ini dapat mengikuti jejak negara-negara lain seperti Brasil dan Australia.
Pemerintah Siap Melibatkan Semua Pihak
Dari sisi pemerintah, Menteri Koordinator Hukum menegaskan bahwa pemerintah akan menghormati dan mematuhi putusan MK. Dia menjelaskan bahwa pemerintah kini memasuki fase evaluasi internal untuk membahas implikasi dari keputusan tersebut terkait penyelenggaraan Pilpres 2029. Jika diperlukan perubahan norma dalam UU Pemilu, pemerintah siap melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
“Kami akan melibatkan KPU, Bawaslu, akademisi, hingga masyarakat dalam pembahasan,” tegasnya. Dengan melibatkan pihak-pihak tersebut, diharapkan pembahasan revisi UU Pemilu akan lebih komprehensif dan mencerdaskan.
Menentukan Syarat Kualitatif Calon
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB juga berpendapat pentingnya untuk menjalankan pengetatan syarat bagi calon. Walaupun PT dihapus, ada keharusan untuk memastikan bahwa calon yang diajukan tidak hanya sekadar memenuhi kuota, namun juga memiliki kapasitas yang memadai. Misalnya, calon presiden harus berasal dari kader partai dan memiliki pengalaman publik yang relevan.
“Penting untuk menerapkan syarat kualitatif agar calon presiden dan wakil presiden memiliki rekam jejak yang baik dan layak,” ujarnya menekankan pentingnya integritas dan pengetahuan tentang pemerintahan sebagai jaminan bagi pemilih di masa depan.
Perspektif Internasional
Menariknya, beberapa negara dengan sistem presidensial seperti Amerika Serikat dan Brasil tidak menerapkan ambang batas pencalonan. Hal ini membuka diskusi tentang model-model kepemimpinan yang berbeda, yang bisa saja diadopsi dalam konteks Indonesia. Dengan semakin diversifikasinya jumlah calon, penting bagi pemilih untuk memiliki pendapat dan kebebasan dalam menentukan pilihan tanpa ada tekanan dari elit politik.
Keputusan MK ini bisa menjadi sejarah baru bagi demokrasi Indonesia, dengan tantangan dan harapan baru. Partai politik dan pemimpin harus beradaptasi dengan cara yang lebih demokratis dan responsif terhadap kebutuhan publik untuk menjaga stabilitas politik menuju Pemilu yang lebih inklusif.